Article

Apakah Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia menganut Asas Pacta Sunt Servanda?

User Rating: 0 / 5

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Kontrak Karya adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan Indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar minyak gas dan bumi.

Istilah kontrak karya diatur dalam Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Pertambangan yang mengatur bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah berdasarkan suatu kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Dari penjelasan definisi kontrak karya tersebut di atas setidak-tidaknya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, bahwa:

a.     adanya kontraktual, yaitu kontrak yang di buat oleh para pihak;

b.     adanya subjek hukum, yaitu Pemerintah Indonesia dengan pihak asing dan atau gabungan antara asing dengan pihak Indonesia; dan

c.     adanya objek, yaitu pengelolaan dan pemanfaatan tambang di luar minyak dan gas bumi.

 

Dikarenakan kontrak karya adalah sebuah kontrak (perjanjian), maka dapat mengacu kembali pada Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Jika pemahaman kontrak karya adalah sebuah perjanjian bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pemerintah Indonesia dan Pihak Asing) maka para pihak tersebut wajib patuh pada salah satu asas yang diberlakukan pada perjanjian yaitu asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1138 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang. Artinya, kontrak karya itu sebagai undang-undang yang mengikat sebagaimana asas pacta sunt servanda yang harus ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan dan syarat yang tercantum di dalamnya.

 

Maka dalam hal ini, pihak lain diluar pihak-pihak dalam kontrak karya tidak dapat memaksakan adanya perubahan kontrak karya selama para pihak dalam kontrak karya tidak berkehendak untuk melakukan perubahan apapun tehadap pasal-pasal yang tercantum di dalamnya, kecuali pihak lain diluar pihak dalam kontrak karya tersebut memiliki dasar yang kuat seperti halnya untuk kepentingan publik. Pun pembahasan mengenai kepentingan publik bukanlah hal yang mudah untuk dijabarkan. Sehingga, dalam hal terdapat pihak yang merasa dirugikan pada klausul-klausul yang tercantum dalam kontrak karya tersebut, maka pihak tersebut harus dapat menyampaikan kerugiannya kepada Pemerintah Indonesia (yang berkedudukan sebagai pihak dalam kontrak karya) untuk dapat mengakomodir kepentingan publik tersebut dan melakukan renegosiasi dengan pihak asing dalam kontrak karya untuk melakukan perubahan klausul dalam kontrak karya yang dirasa merugikan kepentingan publik di Indonesia.

 

Seperti halnya PT Freeport Indonesia yang melakukan investasi di Provinsi Papua yang seiring perkembangan zaman ternyata dikenakan Pajak Air oleh Provinsi Papua, sedangkan dalam kontrak karya terkait belum mengatur mengenai Pajak Air. Studi ini membahas mengenai sengketa antara PT Freeport Indonesia dengan Provinsi Papua terkait ketentuan Pajak Air Permukaan, dimana antara kedua belah pihak memiliki dasar hukum berbeda atas piutang Pajak Air terhadap PT Freeport Indonesia. Adapun yang menjadi dasar perselisihan antara Pemerintah Provinsi Papua dan PT Freeport Indonesia yaitu Pemerintah Provinsi Papua melakukan pemungutan PAP sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena vberdasarkan Pasal 1 angka 17 dikaitkan dengan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD) dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Sedangkan menurut PT Freeport Indonesia, dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 13 (x) KK dan Pasal 13 (10) KK, Pemohon Banding berpendapat bahwa Pemohon Banding tidak diwajibkan untuk membayar PAP sebagaimana tercantum dalam SKPD-PAP 973/1783 tersebut karena PAP tersebut tidak termasuk ke dalam pengertian pajak yang telah dikenakan Pemerintah Daerah dan disetujui oleh Pemerintah Pusat pada saat KK ditandatangani. Sengketa tersebut di atas telah memiliki Putusan Peninjauan Kembali yang diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dituangkan dalam Putusan Nomor 319/B/PK/PJK/2018 dan 320/B/PK/PJK/2018 yang pada isinya menolak diberlakukannya pengenaan PAP oleh Provinsi Papua terhadap PT Freeport Indonesia yang pada salah satu pertimbangan hakim disebutkan bahwa Kontrak Karya PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Papua merupakan suatu perjanjian yang wajib dilaksanakan dan dihormati dengan iktikad baik dikarenakan perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dapat diketahui bahwa berlakunya asas Lex specialis derograt lex geralis pada sengketa ini, dimana terdapat sifat kekhususan dari Kontrak Karya yang telah dibuat dan disepakati antara PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia sehingga dapat mengesampingkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Papua.

 

Sehingga menarik untuk dibahas bahwa dalam hal ini Pemerintah Indonesia memiliki kedudukan yang sejajar dengan pihak asing (sebagai pihak) dalam kontrak karya walaupun dalam hal ini Pemerintah Indonesia berkedudukan sebagai pihak pemberi lahan dan sumber daya alam. Kesejajaran kedudukan antara Pemerintah Indonesia dan pihak asing dalam kontrak karya memiliki akibat bahwa Pemerintah Indonesia tidak dapat membatalkan ataupun mengubah klausul-klausul secara sepihak yang terdapat dalam kontrak karya selama pihak asing tersebut melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak karya meskipun terdapat beberapa klausul yang merugikan Pemerintah Indonesia. Maka dalam hal ini, renegosiasi para pihak kontrak karya atas klausul dalam kontrak karya sangat dibutuhkan agar seluruh klausul dalam kontrak karya mampu mengakomodir seluruh kebutuhan para pihak tanpa merugikan masing-masing pihak. Perlu ditekankan dikarenakan kontrak karya adalah sebuah perjanjian, maka kesepakatan kedua belah pihak sangat dibutuhkan agar kontrak karya tersebut dapat dinyatakan sah dan dapat dilaksanakan, mengingat masing-masing pihak memiliki kesejajaran kedudukan serta wajib menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak karya.    

Office

Wisma Bhakti Mulya Lt. 6
Suite 606
Jl. Kramat Raya No. 160
Jakarta Pusat 10430
Indonesia

Phone & Fax

© Copyright 2024 Pracasya. All Rights Reserved.

Search