Aghnia Maurizka Prameswari
Perkawinan berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga.Dengan terjadinya perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sebagaimana diatur pada Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan. Pasal tersebut memberi pengertian bahwa Harta Gonogini sangat bersifat umum, yakni setiap harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan disebut sebagai Harta bersama/Gonogini. Tidak perduli siapa yang berusaha untuk memperoleh harta kekayaan dalam perkawinan tersebut.
Menurut UU Perkawinan harta benda perkawinan dalam UU perkawinan hanya diatur dalam tiga pasal saja, yaitu pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU perkawinan. Pasal 35 UU perkawinan mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi Harta Gonogini.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang pihak tidak menentukan lain.
Berdasarkan aturan tersebut, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi Harta Gonogini. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai Harta Gonogini suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing. Yang dimaksud “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Perceraian merupakan salah satu alasan yang dapat membubarkan harta bersama, hal ini termaktub pada Pasal 126 KUHPerdata;
Pasal 126 - Harta bersama bubar demi hukum:
1. karena kematian;
2. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada;
3. karena perceraian;
4. karena pisah meja dan ranjang;
5. karena pemisahan harta.
KUHperdata juga mengatur pemisahan harta gonogini yang tercantum pada Pasal 128 yang berbunyi:
Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.
Artinya, apabila terjadi perceraian, maka harta yang dibagi adalah ½ (setengah) dari harta bersama yag didapat selama perkawinan sehingga jika ingin menghitung harta peninggalan maka yang menjadi harta peninggalan adalah ½ (setengah) dari harta bersama + harta bawaan (pribadi) yang didapat sebelum perkawinan. Namun, jika ada Perjanjian Perkawinan, maka tidak akan ada harta bersama (gonogini). Sebagaimana diketahui bahwa perceraian mempunyai akibat hukum tidak hanya diri pribadi mereka yang terkait perceraian, tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta kekayaan suami istri yang diperoleh selama perkawinan dalam perselisian Harta Gonogini. Harta Gonogini inilah yang akan menjadi ajang persengketaan antara suami istri, dan lembaga peradilan pun akan cukup berperan dalam proses penyelesaiannya tentang bagaimana Harta Gonogini akibat putusnya perkawinan, dan bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian Harta Gonogini akibat perceraian tersebut, dan ditinjau dari aspek lainnya.