Aghnia Maurizka Prameswari
Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa hubungan industrial diluar pengadilan. Berdasarakan Pasal 1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menentukan bahwa pengertian Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Perselisihan kepentingan sebagaimana dimaksud ialah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syaratsyarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan yang disebabkan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase diselesaikan oleh Arbiter yang berwenang, dalam hal ini harus sudah memenuhi syarat-syarat yang tercantum pada Pasal 31 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan mendapat penetapan sah sebagai Arbiter oleh Menteri. Arbiter bertugas untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan tersebut dilakukan ditahap awal dandinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Perjanjian tersebut sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.
Setelah perjanjian arbitrase dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, maka pada tahap selanjutnya para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Penunjukan arbiter ini juga wajib dilakukan secara tertulis (Pasal 33 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Apabila arbiter bersedia untuk ditunjuk, maka akan dibuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih yang sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
Arbiter yang bersangkutan tidak dapat menarik diri setelah menandatangani surat perjanjian penunjukan arbiter kecuali atas persetujuan para pihak. Jika arbiter ingin mengundurkan diri maka ia harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak. Jika permohonan itu disetujui, yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut. Jika tidak disetujui, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.
Sumber:
- UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial