Rahmannisa Fadhilah
Sebuah perjanjian dapat terbentuk dengan telah dicapainya kesepakatan atau kata sepakat atas suatu hal yang diperjanjikan oleh para pihak, namun apakah dengan tercapainya kesepakatan dari para pihak menandakan perjanjian tersebut telah sah di mata hukum?
Mengenai syarat sah perjanjian dapat dijumpai pada ketentuan Pasal 1320 BW,
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.”
Syarat-syarat pada Pasal 1320 BW digolongkan menjadi dua yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif mencakup kesepakatan dan kecakapan para pihak, sedangkan syarat objektif terkait suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Syarat subjektif:
1. Kata sepakat
Para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dan menghendaki sesuatu secara timbal balik, seperti yang ditegaskan pada Pasal 1231 BW bahwa kesepakatan yang dimaksud ini merupakan persetujuan yang dikehendaki sendiri oleh para pihak tanpa adanya paksaan.
2. Kecakapan membuat perikatan
Yang dimaksud sebagai seseorang yang cakap dalam membuat perikatan adalah orang yang sudah dewasa dan yang sehat akal pikirannya. Adapun kategori seseorang yang dianggap tidak cakap menurut hukum dicantumkan pada ketentuan Pasal 1330 BW yaitu,
“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;
- Anak yang belum dewasa;
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
- Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.”
Dalam perkembangannya, istri diperbolehkan melakukan perbuatan hukum. Ketentuan mengenai istri yang tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan suami telah tidak berlaku sejak diterbitkannya SEMA No. 3 Tahun 1963, terlebih dalam Pasal 31 UU Perkawinan ditegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan suami.
Syarat objektif:
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertetu adalah mengenai objek dari perjanjian yang meliputi hak dan kewajiban. Pasal 1234 BW mencantumkan prestasi dari perjanjian dapat untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Jika prestasi mengenai barang maka harus ditentukan jenisnya.
4. Suatu sebab yang halal
Kata ‘sebab’ di sini bermaknakan isi perjanjian terkait, sehingga ‘suatu sebab yang halal’ memiliki artian sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Merujuk Pasal 1337 BW yang menyatakan bahwa sebab dari suatu perjanjian dikatakan terlarang apabila melanggar peraturan undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum
Syarat sah perjanjian dibedakan menjadi syarat subjektif dan objektif, adapun konsekuensi apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif adalah dapat dibatalkan sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi hukum.
Tidak terpenuhinya syarat subjektif menjadikan salah satu pihak mempunyai hak untuk memintakan pembatalan perjanjian, perjanjian tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang mempunyai hak pembatalan tersebut.
Berbeda halnya dengan tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, dengan tidak terpenuhinya syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal dapat berakibat perjanjian menjadi batal demi hukum. Maksud batal ini adalah dianggapnya perjanjian tidak pernah ada, para pihak menujukan lahirnya perikatan sebagai perikatan gagal, dan menjadikan tidak adanya dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Melihat ketentuan Pasal 1265 yang menyatakan bahwa suatu syarat batal membawa keadaan kembali seperti semula yaitu dengan anggapan tidak pernah dilaksanakannya suatu perikatan.
Berdasarkan informasi yang telah dijabarkan, maka pentinglah memerhatikan syarat sah dari suatu perjanjian karena kesepakatan para pihak bukanlah satu-satunya unsur dalam hal perjanjian dikatakan sah di mata hukum namun terdapat juga syarat subjektif dan objektif sebab dengan tidak terpenuhi syarat dapat menimbulkan konsekuensi bagi para pihak
Sumber:
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Penerbit Intermasa, 1979.