Aghnia Maurizka Prameswari
Gratifikasi merupakan salah satu istilah yang sering didengar dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia. Istilah ini sering dikaitkan dengan pemberian hadiah atau bentuk lain yang berhubungan dengan jabatan atau posisi seseorang, terutama pejabat publik. Dalam konteks hukum di Indonesia, gratifikasi sering dianggap sebagai bentuk suap, meskipun terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya.
Pengertian Gratifikasi
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap Suap yaitu:
A. Gratifikasi yang dianggap suap,
yaitu gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berisi:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur gratifikasi yang dilarang ialah:
- Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan
- Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut / tidak wajar
B. Gratifikasi yang tidak dianggap suap,
yaitu gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terdapat pengecualian pada ketentuan pada Pasal 12 B ayat (1). Bahwa ketentuan Pasal 12B ayat (1) dapat dinyatakan tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyampaian laporan tersebut wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Pelapor gratifikasi berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk tekanan akibat laporan yang disampaikan. Perlindungan dilakukan oleh KPK mulai dari perlindungan kerahasiaan informasi Pelapor (identitas Pelapor) dan dapat bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau institusi lain yang berwenang.