Telah diumumkan bahwa letak Ibu Kota Negara (IKN) akan dilakukan pemindahan dari Jakarta ke Ibu Kota Negara baru yang disebut Nusantara. IKN baru ini akan berlokasi di Kecamatan Samboja dan Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari rencana IKN ini, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (UU 3/2022) dan merancang peraturan turunannya.
Berdasarkan UU 3/2022 Pasal 6, Ibu Kota Nusantara meliputi wilayah daratan seluas kurang lebih 256.142 ha (dua ratus lima puluh enam ribu seratus empat puluh dua hektare) dan wilayah perairan laut seluas kurang lebih 68.189 ha. Luas wilayah darat Ibu Kota Nusantara meliputi kawasan Ibu Kota Nusantara seluas kurang lebih 56.180 ha (lima puluh enam ribu seratus delapan puluh hektare) termasuk kawasan inti pusat pemerintah 6.596 ha; dan kawasan pengembangan Ibu Kota Nusantara seluas kurang lebih 199.962 ha. Dalam kawasan tersebut terdapat beberapa tanah masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan IKN. Hal tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan dari kalangan masyarakat akan hak mereka.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU 2/2012) telah menjamin hak masyarakat dimana mereka dapat menerima ganti rugi dalam hal tanah milik mereka akan digunakan demi kepentingan umum. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 5 UU 2/2012 dimana pihak yang berhak (pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah) wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak serta dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan. Maka dari itu, masyarakat telah memiliki kepastian hukum dimana mereka akan mendapatkan penggantian yang layak dan adil sebelum menyerahkan tanah ke pihak yang membutuhkan.
Pada Pasal 34 UU 2/2012, menyatakan besaran ganti kerugian yang akan diterima oleh pihak yang berhak ditentukan dari hasil tinjauan penilai (orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah) yang kemudian disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara. Hasil penilaian tersebut bersifat final dan mengikat yang kemudian dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk ganti kerugian. Bentuk ganti kerugian ditentukan dalam musyawarah yang dilaksanakan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah bersama dengan penilai dengan para pihak yang berhak. Pada pasal 36 UU 2/12 menyatakan pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
UU 2/2012 juga mengatur apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian. Pada Pasal 37 UU 2/2012 ini memberikan hak kepada pihak yang berhak untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Pengadilan Negeri setelah itu memutus bentuk dan/atau besaran ganti kerugian paling lama 30 hari kerja saat sudah diterima pengajuan keberatan. Apabila pemilik tanah masih merasa belum puas atas putusan Pengadilan Negeri mengenai bentuk dan/ atau besaran ganti rugi, dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak. Pada pasal 41 ayat (2) UU 2/2012, menjelaskan kewajiban pihak yang berhak pada saat menerima ganti kerugian, dimana mereka wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.