Aghnia Maurizka Prameswari
Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) yang bertujuan sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga dari eksploitasi, diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan. RUU PPRT sudah disusun sejak lama dengan melibatkan banyak pihak antara lain para sosiolog, ahli hukum, dan aktivis buruh. Oleh karena itu, DPR 2019-2024 telah sepakat menjadikan RUU PPRT menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas) 2019-2024.
Jumlah PRT di Indonesia berdasarkan Survei ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015 berjumlah 4,2 Juta (tren meningkat setiap tahun). Angka cukup besar selama ini tidak diakui dan dilindungi. Pelindungan PRT ini bertujuan:
a. memberikan kepastian hukum kepada PRT dan Pemberi Kerja;
b. mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT;
c. Hubungan Kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan dan keadilan;
d. meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT; dan
e. meningkatkan kesejahteraan PRT.
RUU PPRT pun mengatur beberapa larangan dan ancaman pidana sebagai bentuk perlindungan kepada PRT. Berdasarkan draf per tanggal 1 Juli 2020, ketentuan larangan terdapat pada BAB X Pasal 28-29 yang berbunyi:
· Pasal 28
Pemberi Kerja dilarang mendiskriminasi, mengancam, melecehkan, dan/atau menggunakan kekerasan fisik dan non fisik kepada PRT.
· Pasal 29
Penyalur PRT dilarang:
a. Memberikan informasi palsu tentang perusahaannya dan data calon PRT kepada Pemberi Kerja; dan/atau
b. Mengintimidasi dan melakukan kekerasan kepada calon PRT atau PRT.
Dalam ketentuan ini, Penyalur PRT adalah badan usaha yang berbadan hukum dan telah mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota untuk merekrut dan menyalurkan PRT. Kemudian, ketentuan pidana tercantum pada Pasal 30-32 yang berbunyi:
· Pasal 30
Pemberi Kerja yang mendiskriminasi, mengancam, melecehkan, dan/atau menggunakan kekerasan fisik dan non fisik kepada PRT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun 8 atau denda paling banyak Rp.125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
· Pasal 31
Penyalur PRT yang memberikan informasi palsu tentang perusahaannya dan data calon PRT kepada Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
· Pasal 32
Penyalur PRT yang mengintimidasi dan melakukan kekerasan kepada calon PRT dan PRT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
Komunitas buruh sangat mengapresiasi Tindakan pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU PRT ini. Namun mengutip pernyataan Ketua Umum Federasi Transportasi, Pendidikan dan Informal Sarikat Buruh Muslimin Indonesia NU (F-TPI Sarbumusi NU), Fika Taufiqurrohman, terdapat beberapa hal yang masih belum diatur sehingga beliau memberi 7 tuntutan yang perlu diakomodir pada saat pembahasan RUU PPRT dilaksanakan. 7 tuntutan tesebut ialah:
1. RUU PPRT harus selaras dengan Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi PRT.
2. Pengaturan upah minimum PRT agar tidak hanya didasari kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja. Beberapa Negara telah mengatur standar upah minimum PRT. Sementara, upah PRT di Indonesia jauh dari kata layak, sehingga perlu ada ketentuan upah minimum. PRT juga berhak memperoleh THR sebesar satu kali upah bulanan.
3. RUU PPRT perlu mengatur pembatasan waktu kerja, beban kerja, istirahat harian, hari libur, cuti sakit, dan cuti liburan. Apabila PRT bekerja melebihi batas waktu yang telah ditentukan, maka PRT berhak memperoleh uang tambahan.
4. PRT perlu memperoleh perlindungan sosial, jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan), jaminan ketenagakerjaan (BPJS TK). Pemberi kerja berkewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk meminimalisir tindakan kekerasan, diskriminasi, pelecehan, perendahan profesi, dan tidak dibayarnya upah maupun jaminan sosial PRT. RUU PPRT diharapkan mengatur kewenangan pengawasan oleh pemerintah dan sanksi tegas kepada penyalur dan pemberi kerja PRT.
5. Untuk mengantisipasi tindakan penyalur dan pemberi kerja PRT yang melawan hukum, maka perlu diatur ketentuan pengawasan yang ketat oleh pemerintah dan sanksi yang tegas agar dapat memberikan perlindungan PRT dan memberikan efek jera kepada penyalur dan pemberi kerja PRT.
6. RUU PPRT perlu membatasi usia PRT minimal 18 tahun.
7. Pemerintah melalui Kemenaker diharapkan berkewajiban meningkatkan skill dan kompetensi PRT di Balai Latihan Kerja. Selain itu, Kemenaker dapat bekerjasama dengan BNSP dan LSP dalam mensertifikasi profesi PRT.
Belum adanya bentuk perlindungan hukum bagi PRT menimbulkan resiko dimana PRT sangat rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan dieksploitasi dan resiko terburuk ialah terhadap human trafficking.Mengingat keberadaan PRT semakin dibutuhkan dan secara kuantitas jumlahnya semakin meningkat. Maka dengan disahkannya RUU PPRT ini, PRT diharapkan mendapat kepastian hukum dan terlindungi dari segala bentuk perlakuan yang tidak manusiawi yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.