Salah satu aspek yang memiliki peranan penting dalam pemindahan Ibu Kota adalah aspek hukum. Implikasi yang sangat nyata adalah terdapat beberapa undang-undang yang harus untuk disesuaikan, dirubah, ataupun diganti, yaitu setidak-tidaknya terkait pembuatan RUU Ibu Kota, penganggaran, dan juga pengawasan.
Sebagai salah satu contohnya adalah terkait Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (“UU DKI Jakarta”), dimana UU DKI Jakarta tersebut harus segera diubah mengingat di dalam UU DKI Jakarta dinyatakan secara jelas bahwa DKI Jakarta sebagai ibu kota negara, sehingga jika terjadi pemindahan wilayah ibu kota negara maka UU DKI Jakarta harus segera diubah dan diganti dengan undang-undang ibu kota yang baru dengan penyesuaian wilayah yang telah ditentukan beserta dengan tugas, hak, kewajiban, serta tanggung jawab suatu wilayah menjadi ibu kota negara. Selanjutnya, Pemerintah harus mengirimkan draf rancangan undang-undang untuk ibu kota baru kepada DPR, mengingat pemindahan ibu kota bukanlah keputusan sepihak eksekutif melainkan juga melibatkan legislatif.
Menjadi pembicaraan penting selanjutnya adalah mengenai nomenklatur “khusus” yang diberikan kepada jakarta, tentunya terdapat pro dan kontra apakah nomenklatur “khusus” yang dimiliki oleh Jakarta tetap digunakan atau dihilangkan mengingat ibu kota negara akan dipindahkan ke wilayah lain. Nomenklatur “khusus” yang melekat pada Jakarta selama ini memberikan lex specialis, sehingga terdapat perbedaan-perbedaan antara Jakarta dengan wilayah-wilayah lainnya, namun dalam hal nomenklatur “khusus” yang melekat pada Jakarta ternyata juga dicabut seiring dengan perpindahan ibu kota maka Jakarta akan tunduk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemerintahan Daerah”). Namun, dengan perpindahan ibu kota tidak semata-mata langsung menghilangkan nomenklatur “khusus” yang melekat pada Jakarta, melainkan nomenklatur “khusus” tersebut merupakan pilihan politik para pembuat undang-undang dengan pertimbangannya.
Terkait dengan undang-undang atau regulasi yang menyatakan suatu lembaga negara harus berkedudukan di ibu kota juga harus menjadi perhatian yang mendalam, seperti halnya Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara, lalu terdapat Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Tentunya perpindahan lembaga-lembaga tersebut juga didasari oleh pertimbangan yang matang, sehingga dalam hal adanya keputusan yang menyatakan bahwa terdapat suatu lembaga yang tidak berkedudukan di ibu kota negara maka undang-undang lembaga tersebut harus segera disesuaikan.
Terkait dengan perpindahan ibu kota negara tentunya juga membahas mengenai bentuk dari ibu kota baru tersebut, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) pilihan bentuk ibu kota negara yang baru, yaitu:
1. Ibu Kota Mandiri, yang dimaksud dengan ibu kota mandiri adalah ibu kota yang baru membuat kota sendiri tanpa bergabung dengan kota administrasi yang sudah ada, dimana dimungkinkan adanya nama kota yang baru dan luas wilayah yang baru sesuai dengan keputusan yang ada, dengan contoh ibu kota baru tidak bergabung dengan Kalimantan Timur melainkan membuat nama kota yang baru beserta dengan penyesuaian luas wilayahnya;
2. Ibu Kota bergabung dengan Kota Administrasi yang sudah ada, dimaksudkan bahwa ibu kota baru bergabung dengan kota administrasi yang sudah ada, dimungkinkan adanya penyesuaian wilayah, namun tetap bergabung dengan kota administrasi yang ada tanpa membuat nama kota yang baru, dengan contoh ibu kota bergabung dengan Kalimantan Timur baik dengan luas wilayah yang sudah ada ataupun melakukan penyesuaian (perluasan) wilayah; dan
3. Ibu Kota dengan Otoritas Sendiri, dimaksudkan ibu kota baru memiliki otoritas yang berdiri sendiri berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya, seperti halnya BP Batam sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.