Muhammad Hafidzul Fikri
17 November, 2022
Harta bersama dalam suatu pernikahan ialah harta yang didapat dari hasil usaha suami istri atau salah satu dari mereka dalam hubungan perkawinan. Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama.
Lebih lanjut Pasal 1 huruf f Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) menjelaskan: Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan atas nama siapapun.
Ketentuan harta bersama lebih lanjut tercantum dalam Pasal 35, 36 dan 37 UU Perkawinan. Selain itu, di atur pula dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI. Berikut ini adalah beberapa pasal yang penting untuk diketahui: Pasal 88 KHI menyatakan apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 97 KHI menyatakan Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pada dasarnya, jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing berdasarkan Pasal 37 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Jika belum ada pembagian harta gono gini, maka harta-harta tersebut masih milik bersama antara si mantan suami dengan mantan istri.
Selain itu, menurut yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1448K/Sip/1974, disebutkan bahwa: Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.
Pada Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu syarat pernjanjian ialah para pihak sepakat untuk mengikatkan diri, berdasarkan ketentuan ini, jika pemisahan harta sudah disepakati dan tercantum pada perjanjian maka tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Ketika perceraian terjadi, masing-masing suami atau istri tersebut hanya akan membawa harta sesuai kepemilikannya. Sebaliknya, apabila tidak ada perjanjian perkawinan, maka pengaturan mengenai harta bersama mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.
Dari penjelasan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama jika tidak ada ketentuan lain dalam perjanjian kawin pada waktu, sebelum dilangsungkan (pra-nikah), atau selama dalam ikatan perkawinan.