Aghnia Maurizka Prameswari
Hakim sebagai pejabat peradilan memegang peranan yang sangat penting dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki wewenang yang luas dan dijamin oleh hukum untuk memastikan bahwa proses peradilan berlangsung secara adil, objektif, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Wewenang hakim tidak hanya terbatas pada kemampuan untuk memutuskan perkara, tetapi juga mencakup tanggung jawab untuk menegakkan hukum secara konsisten dan adil.
Hakim harus memastikan bahwa setiap proses hukum dilakukan dengan benar, mulai dari penafsiran hukum hingga pelaksanaan keputusan akhir.
Akan tetapi masih banyak ditemukan pihak yang melakukan tindak pidana suap terhadap Hakim dengan tujuan merubah keobjektifannya dalam memberikan putusan yang menguntungkan salah satu pihak. Tindak pidana suap terhadap hakim ini sangat merugikan sistem peradilan, karena dapat merusak integritas serta kepercayaan publik terhadap pejabat negara dan kredibilitas Lembaga peradilan.
Terkait dengan tindak pidana suap terhadap Hakim, terdapat ketentuan hukum yang mengatur ancaman pidana dalam Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang berbunyi:
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadir sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal ini berfokus pada pemberian atau janji-janji yang diberikan dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan hukum, baik yang berkaitan dengan putusan perkara atau pendapat hukum yang akan disampaikan dalam persidangan dengan dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Oleh karena itu, sanksi yang tegas bagi pemberi dan penerima suap dimaksudkan untuk memberikan efek jera, mencegah terjadinya suap, dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh hakim dan pendapat yang diberikan oleh advokat benar-benar berdasarkan pada hukum yang berlaku, bukan pengaruh dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi. Kemudian, penting bagi setiap hakim untuk berkomitmen pada prinsip-prinsip kejujuran, independensi, dan profesionalisme dalam setiap proses peradilan yang mereka jalankan. Hal ini akan memperkuat kredibilitas lembaga peradilan dan memberikan rasa aman serta kepercayaan bagi masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.