Aghnia Maurizka Prameswari
Upaya hukum Peninjauan Kembali disebut sebagai upaya hukum luar biasa adalah karena upaya hukum yang terakhir yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam suatu perkara (baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata). Upaya Hukum merupakan cara yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan perkara yang diajukan ke pengadilan dengan harapan akan tercapainya tujuan hukum yaitu memperoleh keadilan mendapatkan manfaat atas penegakan hukum yang diharapkan serta menjamin adanya kepastian hukum terhadap penegakan hukum tersebut.
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII bagian kedua Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP yang merupakan penjabaran lebih jauh dari Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 34/PUU-XI/2013, peninjauan kembali boleh diajukan lebih dari satu kali sepanjang ada bukti baru (novum) berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan novum adalah suatu hal yang baru yang timbul kemudian setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang sebelumnya tidak pernah menjadi pembicaraan atau tidak pernah dipersoalkan di pengadilan. Maka dari itu, upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. Jika masih ingin melakukan upaya hukum atas putusan penjinjauan kembali, pemohon harus memiliki bukti baru yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya, dan apabila itu dikemukakan pada persidangan sebelumnya, putusannya akan menjadi lain, atau memiliki bukti bahwa hakim telah salah dalam menerapkan hukum.
Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila dalam putusan mengenai perkara yang bersangkutan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya suatu kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu, yang untuk itu semua telah dinyatakan pula oleh hakim pidana. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahuinya kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu berdasarkan putusan hakim pidana.
2. Adanya surat-surat bukti yang bersifat menentukan, jika surat-surat bukti dimaksud dikemukakan ketika proses persidangan berlangsung. Bukti semacam itu disebut pula dengan istilah novum. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahui atau ditemukannya bukti baru (novum).
3. Adanya kenyataan bahwa putusan hakim mengabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut. Peninjauan kembali dapat diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
4. Adanya bagian mengenai suatu tuntutan dalam gugatan yang belum diputus tanpa ada pertimbangan sebab-sebabnya. Peninjauan kembali diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
5. Adanya putusan yang saling bertentangan, meskipun para pihaknya sama, mengenai dasar atau soal yang sama, atau sama tingkatannya. Peninjauan kembali ditujukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
6. Adanya kenyataan bahwa putusan itu mengandung suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata sehingga merugikan pihak yang bersangkutan. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Terhitung selama 14 hari kerja sejak ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkaranya menerima permohonan peninjauan kembali, pihak panitera berkewajiban menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawannya. Pihak lawan yang akan mengajukan jawaban atau permohonan peninjauan kembali, hendaknya diajukan dalam tempo selama 30 hari. Jika jangka waktu tersebut terlampaui, permohonan peninjauan kembali segera dikirimkan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sehingga, upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan peninjauan kembali adalah pengajuan peninjauan baru dengan syarat pemohon peninjauan kembali dapat membuktikan adanya bukti baru (novum) yang belum pernah dibawa dan dibahas pada persidangan-persidangan sebelumnya.