Aghnia Maurizka Prameswari
Potensi munculnya perselisihan di Perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perselisihan ini dapat bersumber dari berbagai faktor, seperti ketidaksesuaian pendapat mengenai hak dan kewajiban, perubahan kebijakan perusahaan, hingga performa kerja yang dianggap tidak memenuhi standar. Alasan-alasan tersebut dapat menjadi dasar bagi pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perlu diketahui, Pengusaha tidak dapat melaksakan PHK secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan PHK agar tindakan tersebut dapat dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Salah satunya ialah aturan tentang larangan PHK oleh pengusaha yang tercantum pada Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Pekerja/Buruh dengan alasan:
1. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
2. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4. menikah;
5. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
6. mempunyai pertalian darah dan/ atau ikatan perkawinan dengan Pekerja/ Bunrh lainnya di dalam satu Perusahaan;
7. mendirikan, menjadi anggota dan/ atau pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pekerja/ Buruh melakukan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan Pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
8. mengadukan Pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan Pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
9. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
10. fisik, atau status perkawinan; dan
11. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena Hubungan Kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Alasan tersebut tidak diperbolehkan untuk dijadikan dasar pemutusah hubungan kerja. Pasal tersebut dirancang untuk menjamin bahwa pekerja tidak diberhentikan semena-mena atas dasar alasan pribadi, diskriminatif, atau yang melanggar hak asasi manusia. Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana tercantum pada Pasal 153 ayat (1) batal demi hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan kembali Pekerja/Buruh yang bersangkutan.