Aghnia Maurizka Prameswari
Sistem hukum di Indonesia telah mengatur sanksi pidana agar pelaku tindak pidana mendapatkan hukuman yang adil. Terdapat beberapa tindakan yang dapat membuat sanksi pidana menjadi lebih berat sebagaimana diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan praktik peradilan pidana di Indonesia.
Faktor yang memperberat pidana meliputi:
a. Pejabat yang melakukan Tindak Pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan Tindak Pidana dengan menyalahgunakan
b. kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
c. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan Tindak Pidana; atau
d. pengulangan Tindak Pidana.
Pemberatan pidana tersebut dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana. Penambahan pidana tersebut telah diatur pada berbagai Pasal dalam KUHP, seperti:
Pasal 84 KUHP
“Setiap Orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II dapat dijatuhi pidana pengawasan paling lama 6 (enam) Bulan dan pidana denda yang diperberat paling banyak 1/3 (satu per tiga).”
Pasal 245 KUHP
“Setiap Orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan Kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).”
Setiap kejahatan memiliki tingkat keseriusan yang berbeda. Pemberatan pidana ini diharapkan agar hakim dapat menjatuhkan hukuman yang sebanding dengan tingkat kesalahan dan dampaknya. Sehingga korban dan masyarakat akan mendapatkan keadilan sebagaimana semestinya.