Aghnia Maurizka Prameswari
Perjanjian menjadi instrumen penting dalam sebuah transaksi antara pelaku usuaha dan konsumen. Pada praktiknya, terdapat pelaku usaha yang memanfaatkan ketidakpaham konsumen dengan mencantumkan klausul perjanjian yang merugikan konsumen yang ditentukan secara sepihak. Oleh karena itu terbitlah istilah “klausula baku”.
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah : “klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Walaupun terdapat asas kebebasan berkontrak dalam membuta perjanjian, keseimbangan kedudukan pelaku usaha dan komsumen tetap perlu diutamakan. Menghindari posisi lemah pada perjanjian yang dikarenakan tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Demi menyeimbangkan posisi pelaku usaha dan konsumen, maka diatur larangan membuat klausula baku sebagaimana tecantum dalam Pasal 18:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
(2) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(3) Pelau usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(4) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(5) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Kehadiran ketentuan mengenai klausula baku dalam UU Perlindungan Konsumen merupakan langkah strategis dalam memperkuat posisi konsumen terhadap pelaku usaha.
Badan penyelesaian sengketa konsumen juga turut mengawasi pencantuman klausula baku dalam perjanjian yang dibuat untuk menjaga keseimbangan ini.