Aghnia Maurizka Prameswari
Proses jual beli dalam kehidupan manusia telah berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Dengan kemudahan akses di era digital, maka kebiasaan manusia dalam jual beli juga turut berubah mengikuti zaman. Dari yang sebelumnya harus mendatangi toko dan harus memiliki uang tunai, saat ini hanya diperlukan handphone untuk membeli suatu barang dan transaksi secara online di rumah.
Dengan semakin maraknya aktivitas jual beli secara online, tingkat kejahatan dalam transaksi online pun turut meningkat. Salah satu kasus yang sering terjadi adalah kasus pemalsuan bukti transfer kepada penjual. Tindakan pemalsuan bukti pembayaran ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana maupun perdata.
• Dalam hukum perdata, tindakan tersebut dianggap sebagai wanprestasi karena tidak memenuhi kewajiban membayar. Dengan ini, pembeli wajib membayar ganti rugi sebagaimana diatur pada Pasal 1243 KUHPerdata, yang menyatakan:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”
• Dalam hukum pidana, ini termasuk dalam tindak pidana penipuan sebagaimana diatur pada Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
• Serta melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE dengan ancaman pidana sebagai berikut:
“Setiap Orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.0O0.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dengan pesatnya pertumbuhan transaksi jual beli secara online, penting bagi seluruh pelaku usaha dan konsumen untuk memahami bahwa setiap tindakan dalam transaksi elektronik memiliki konsekuensi hukum, baik dari aspek perdata maupun pidana. Pemalsuan bukti transfer bukan hanya sekadar pelanggaran moral atau etika bisnis, tetapi juga merupakan tindakan melawan hukum yang dapat dikenai sanksi pidana dan tuntutan perdata. Oleh karena itu, kesadaran hukum dan kewaspadaan dalam setiap proses transaksi sangat diperlukan demi menciptakan ekosistem perdagangan digital yang aman, adil, dan terpercaya bagi semua pihak.