Aghnia Maurizka Prameswari
Sebagai negara demokratis, warga negara Indonesia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan kritik, serta mengajukan tuntutan terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu bentuk pelaksanaan hak tersebut adalah melalui demonstrasi atau unjuk rasa. Demonstrasi merupakan perwujudan nyata dari hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Dalam pelaksanaan demonstrasi, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pengamanan guna menjamin pelaksanaan unjuk rasa di muka umum berjalan dengan aman dan tertib. Hal ini diatur dalam Pasal 18 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prosedur Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (28 Perkap Nomor 7 Tahun 2012), yang menyebutkan bahwa tujuan pengamanan adalah untuk:
a. memberikan perlindungan keamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum;
b. menjaga kebebasan penyampaian pendapat dari intervensi pihak lain; dan
c. menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Namun sangat disayangkan, tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian dengan dalih menjaga keamanan dan ketertiban umum saat unjuk rasa berlangsung, masih sering terjadi. Seperti yang terjadi pada peristiwa unjuk rasa pada tanggal 28 Agustus 2025 di Jakarta. Dimana telah ditemukan terjadinya pelanggaran hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat kepolisian, khususnya dari satuan Brimob. Salah satu peristiwa yang menarik perhatian publik adalah tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap seorang peserta demonstrasi yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Korban dilaporkan meninggal dunia akibat tertabrak dan terlindas oleh kendaraan taktis milik satuan Brimob.
Tindakan kekerasan oleh aparat tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, khususnya Pasal 28 Perkap Nomor 7 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan upaya paksa, harus dihindari hal-hal yang kontra-produktif, antara lain:
a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, seperti mengejar pelaku, membalas melempar, melakukan penangkapan dengan kekerasan, serta menghujat;
b. keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
c. tidak patuh dan taat kepada perintah penanggung jawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;
d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, atau pelanggaran HAM; dan
f. melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peristiwa ini mencerminkan penyimpangan serius yang dilakukan penegak hukum. Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi yang menyeluruh, transparan, dan akuntabel guna memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum oleh aparat negara diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku, baik melalui mekanisme etik, disiplin, maupun pidana.