Aghnia Maurizka Prameswari
June 24st, 2022
Presidential Threshold merupakan syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Pengaturan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan politisi.
Peraturan terkait Presidential Threshold ini tercantum pada pasal 222 UU 7/2017 yang berbunyi:
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Pada artikel kali ini, penulis akan merujuk pada Putusan MK Nomor14/PUU-XI/2013, dalam permohonannya, pemohon meminta untuk merubah sistem pemilu menjadi pemilu serentak serta ingin menghilangkan pengaturan presidential threshold. Pemohon berpendapat bahwa presidential threshold akan membatasi hak pilih warga negara dalam pemilu presiden/wakil presiden serta menutup kesempatan peserta partai politik untuk berpartsipasi dalam pemilu.
Oleh karena itu, MK dalam putusannya memberikan keterangan bahwa secara delegatif UUD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk undang-undang terkait tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum sehingga itu menjadi kebijakan humum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang untuk merumuskannya. Termasuk pengaturan terkait presidential threshold, menurut MK, aturan ambang batas juga merupakan kebijakan hukum terbuka sehingga MK tidak dapat membatalkannya.
Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.