Aghnia Maurizka Prameswari
Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Memutus pembubaran partai politik, dan; Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sebagaimana diketahui, terdapat perubahan ambang batas pada PILKADA kali ini setelah diujinya Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang dapat dilihat di Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusional partainya dengan berlakunya Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016, karena para Pemohon selaku Partai Politik yang telah didirikan secara resmi dan mendapat pengesahan dari Pemerintah serta ditetapkan sebagai peserta Pemilu Tahun 2024 dan memperoleh suara sah dalam Pemilu Tahun 2024, terhalang haknya untuk mengajukan/mendaftarkan pasangan calon kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016.
Ketentuan tersebut berbasis pada perolehan kursi di lembaga perwakilan (DPRD) atau berbasis perolehan suara sah dalam Pemilu. Para Pemohon terhalang karena berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bahwa basis pilihan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (1), hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Batasan tersebut telah menegasikan hak konstitusional para Pemohon untuk mengajukan/mendaftarkan pasangan calon kepala daerah berbasis perolehan suara sah dalam Pemilu.
Berdasarkan permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dan menguji Pasal-Pasal yang diajukan. Pada putusannya MK Menyatakan:
a. Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 77 Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:
“partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
b. . provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;”
b. Menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/16 juga dinyatakan bertentangan dengan Undang-UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Merajuk pada Putusan ini, maka ketentuan ambang batas sebelumnya tidak lagi berlaku karena sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak sesuai dengan nilai UUD RI 1945. Putusan MK ini bersifat ‘Final’ yang berarti putusan MK langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Dengan kata lain, setelah mendapat putusan, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Dengan demikian, putusan MK juga tidak dapat dan tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa.